Selasa, 27 Maret 2012

Migrasi Orang Dayak di Kapuas Hulu



Migrasi kelompok pertama diperkirakan datang dari arah barat (kemungkinan berasal dari hilir sungai kapuas dan anak-anak sungainya seperti sungai sekayam, ketungau, dan sekadau). Sub-subsuku yang dimaksud ialah subsuku Seberuang, Ensilat, Iban, Kantu’, Tamanik, Desa, Sekapat, Suaid, Mayan, Sebaru’, Rembay, dan Ulu ai’.
Sedangkan migrasi kelompok kedua diperkirakan berasal dari arah timur daerah Data Purah, Apo Kayaan yang menurunkan tiga subsuku Dayak yaitu Dayak Punan, Buket dan juga suku Kayaan Mendalam.
Migrasi kelompok ketiga hakikatnya juga berasal dari timur, yaitu sungai Kayaan. Kelompok ini tidak langsung ke Kalimantan barat, melainkan menuju sungai Mahakam kemudian menyebar ke hulu sungai Melawi. Dari hulu sungai melawi inilah kemudian menyebar lagi ke hulu Sungai Manday, sungai Suru’, dan sungai Mentebah hingga ke Kapuas. Kelompok subsuku Dayak yang ketiga ini ialah subsuku Dayak Orung Da’an, Suru’ dan Mentebah.
Gambaran migrasi kelompok suku Dayak di Kapuas Hulu pada hakikatnya tidak bersamaan waktu penyebarannya. Misalnya Dayak Iban yang dikelompokkan pada kelompok pertama, tidak langsung ke Kapuas Hulu tetapi kelompok ini memilih Sungai Batang Rejang di Malaysia. Setelah Suku ini ditaklukkan oleh raja “white” Brooke, baru kemudian melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Kapuas Hulu. Sedangkan kelompok Dayak Sekapat, Sebaru’ dan Desa diyakini paling terakhir menyebar di kabupaten ini.
Gambran penyebaran ini hakikatnya masih perlu di uji dan memerlukan kajian lebih lanjut.
Suku Dayak di Kabupaten Kapuas Hulu atau seringkali disebut Dayak Ulu kapuas keberadaanya sama dengan beberapa subsuku Dayak di kabupaten lain di Kalimantan Barat, yaitu sebagai penduduk asli pulau Kalimantan. Sebagai kelompok mayoritas sub-subsuku Dayak di kabupaten ini diperkirakan sudah mendiami wilayah hulu sungai kapuas ini sekitar tahun 300-an yang silam, sebelum peristiwa perang antara manusia dengan roh halus di Tanah Tampun Juah yang menyebabkan “migrasi besar-besaran”
Beberapa subsuku yang mengisahkan tentang asal-usul mereka dari Tampun Juah adalahh dayak Kantu’, Seberuang, dan juga Rembay. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai peristiwa sejarah dan perkembngannya, misalnya perluasan wilayah kerajaan Sintang di Selimbau dan Semitau serta masa penjajahan Belanda.
Kelompok masyarakat dayak sebelum berdirinya panembahan-panembahan Kerajaan Sintang dan datangnya para penjajah, umumnya masih menganut agama leluhur mereka. Namun agama ini acapkali dianggap sebagai animisme, berhala, dan sebagainya. Kerajaan Sintang yang memperluas wilayah kekuasaannya dengan mendirikan panembahan-panembahan di wilayah hulu kapuas juga menyebarkan agama Islam. Hal ini membuat kelompok suku Dayak dihadapkan pada pilihan untuk menganut salah satu agama yang menjanjikan “peradaban baru”
Secara kebetulan agama Islam pada saat itu cukup berpengaruh seiring berdirinya kerajaan-kerajaan kecil yang bernafaskan Islam. Belum lagi kelompok suku ini dihadapkan pada pilihan “jika menganut agama Islam", kelompok suku Dayak terbebas dari perbudakan dan kewajiban membayar upeti kepada kerajaan. Namun tanpa disadari menganut agama Islam di Kalimantan Barat selalu diidentikkan dengan Melayu. Oleh karena itu, sadar atau tidak sadar terjadi penolakan jati dirinya. Dilihat dari aspek kultural kelompok Dayak yang muslim ini pun sulit untuk dibedakan dengan kelompok Dayak yang non muslim, lama kelamaan sikap itu mengkristal sehingga melahirkan identitas baru yang disebut Senganan. Sedangkan yang dimaksudkan sebagai Dayak, dimaknai kelompok masyarakat pribumi Kalimantan Barat non Muslim.
Mengenai keragaman subsuku Dayak di Kapuas Hulu dari hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan diseluruh wilayah kabupaten Kapuas Hulu adalah sebagai berikut : Dayak Suaid, Kantu’, Seberuang, Kalis, Lau’, Suru’, Mentebah, Tamambalo, Ensilat, Mayan, Sekapat, Desa, punan, Buket, Taman, Kayaan, Rembay, Sebaru’, Iban, Oruung Da’an.

Sumber : buku Mozaik Dayak “keberagaman subsuku dan bahasa Dayak di Kalimantan barat"

Senin, 26 Maret 2012

subsuku Dayak Suaid

  
 ilustrasi

Subsuku Dayak Suaid adalah kelompok masyarakat dayak yang umumnya bermukim di wilayah Kecamatan Seberuang, Semitau, dan sebagian kecil berada di kecamatan Selimbau Kabupaten Kapuas Hulu.Istilah Suaid hakikatnya di ambil berdasarkan nama sungai yaitu Sungai Suaid yang memanjang dari selatan hingga ke utara dan bermuara di sungai kapuas. Di sepanjang sungai inilah dulunya kelompok masyarakat ini bermukim, beranak pinak dan berdaulat. Mereka hidup berdampingan penuh kerukunan dengan subsuku Dayak Kantu’, Seberuang dan Dayak Mayan (yang hakikatnya anak suku Dayak Suaid). Selain itu kelompok ini juga sudah lama hidup berdampingan dengan orang melayu yang umumnya mereka sebut Senganan.
Jika dilihat dari keadaan Geografis atau luas wilayah Subsuku Dayak Suaid yang hanya bermukim di sungai suaid, maka subsuku ini merupakan subsuku yang kecil. Akan tetapi, berbagai peristiwa yang dialami suku ini mengukir sejarah perkembangannya sehingga menjadikan subsuku ini menjadi subsuku yang besar. Misalnya masuknya tiga per empat wilayah kecamatan seberuang yang hingga saat ini merupakan wilayah penyebaran subsuku suaid.
Gambaran sikap pemberani orang Suaid digambarkan oleh seorang misionaris yang pernah berkarya di hulu sungai kapuas, terutama di Benua Martinus dan Sejiram, yaitu H.J Van Hulten. Rombongan misionaris itu pernah diusir Jepang. Sehingga mereka memutuskan pergi ke Pontianak. Dalam perjalanannya dari Benua Martinus menuju pontianak, mereka akan diserang oleh orang melayu embau. Akan tetapi, orang-orang Dayak dari Sejiram melindungi rombongan misionaris ini dengan perlengkapan senjata mereka selama 14 hari (H.J. Van Hulten, 1992:23).
Dayak Suaid memiliki kepekaan terhadap identitas mereka. Kelompok ini diyakini sebagai Dayak Mardhahika atau Dayak Merdeka, yaitu Dayak yang ingkar menukar identitas mereka dan juga ingkar membayar pajak kepada kerajaan (Yusriadi, 2003:14). Oleh karena itu, para tetua kampung dan tokoh masyarakat ini menolak sistem penulisan kelompoknya dengan menggunakan konsonan [h] antara vokal [u] dan [a] seperti SUHAID sebagaimana yang lazim ditulis dalam administrasi pemerintah yang juga pernah ditulis oleh Hudson (1996) tentang klarifikasi bahasa-bahasa Borneo. Kelompok suku ini menegaskan sistem penulisannya tanpa konsonan [h] yaitu SUAID. Bagi kelompok suku ini, jika ditulis Suhaid tidak merefleksikan identitas mereka melainkan bermakna Senganan. Apalagi dalam bahasa Suku Suaid konsonan [h] sebagai refleksi dari konsonan [r], sebagai contoh kata garam diucapkan Gaham.
Ditinjau dari aspek Linguistik, bahasa Dayak Suaid memiliki ciri fonetis hampir sama dengan subsuku Dayak mayan, Ulu sungai, dan beberapa bahasa di Kabupaten Sanggau, seperti bahasa subsuku Dayak Ribun. Dalam hal ini pada subsuku ini tidak terdapat konsonan [r] baik pada posisi awal, tengah maupun akhir, kecuali kosa kata pinjaman dari bahasa melayu atau penutur bahasa Suaid yang tidak tinggal di dilingkungan subsuku ini (lahir dan dibesarkan di kota). Konsonan ini selalu memiliki persamaan bunyi dengan konsonan [h]. Sedangkan ciri fonetis lainnya ialah konsonan [s] pada suku akhir cenderung berkonotasi dengan nasal [‘n] dan tidak terdapat pranasal pada akhir seperti [‘tn], [‘pm], [‘kng].
Subsuku dayak Suaid tersebar di empat wilayah empat kecamatan, yaitu kecamatan Seberuang, Semitau, Suhaid, dan Selimbau. Adapun wilayah penyebaran subsuku Dayak Suaid meliputi 28 kampung dengan penutur lebih 8.373 jiwa.

sumber: buku Mozaik dayak "Keberagaman subsuku dan bahasa dayak di Kalimantan Barat"

Rabu, 21 Maret 2012

Kondisi jalan Sintang - Sejiram Buruk

Infrastruktur di Provinsi Kalbar masih buruk. Pengawasan yang lemah membuat kondisi jalan kerap rusak. ini semakin di perparah truk-truk sawit yang melebihi tonase yang diperbolehkan.
Anggota komisi C DPRD Kalbar, Gusti Effendi, SE memaparkan hal tersebut. Ia menguraikan, ruas jalan nasional dari kabupaten Sintang sampai Simpang Sejiram (Kabupaten Kapuas Hulu) memerlukan perhatian cukup serius dari pemprov maupun pemerintah pusat. Karena ruas jalan itu mengalami kerusakan.
"Kerusakan jalan itu diperkirakan 130 km" ucap Gusti di Fraksi Partai Golkar DPRD Kalbar, kemarin.
Lebih lanjut, Gusti menjelaskan kerusakan ruas jalan itu disebabkan kerap dilewatinya sejumlah truk bermuatan sawit yang melebihi dari kapasitasnya. Padahal ruas jalan hanya mampu menampung 8 ton saja.
"Ruas jalan itu dipaksa menanggung beban mencapai 15 ton. Jadi wajar saja, jika ruas jalan itu kembali hancur. Ruas jalan itu jarang mendapatkan perbaikan. Jika pun ada hanya tambal sulam saja" urai mantan ketua DPRD Kabupaten Kapuas Hulu ini.
Karena itu Legislator Partai Golkar ini berharap adanya kucuran dana dari APBN pada tahun 2012. Sehingga jalan itu dapat segera diperbaiki. "Apalagi sesuai yang diungkapkan Kadis PU Kalbar di media, Kalbar mendapatkan cukup besar dana untuk perbaikan dan peningkatan jalan nasional" jelas dia.
Untuk itu, sambung dia, masyarakat sangat mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah dalam membantu anggaran itu dapat dilewati. Selain itu masyarakat Kabupaten Sintang, kata Gusti, berharap adanya bantuan dari pemerintah dalam pembangunan jalan yang ada. Seperti adanya pelebaran jalan.
"Sejauh ini, ruas jalan yang ada dirasakan Kabupaten Sintang sangat kecil. Padahal ruas jalan itu kerap dilalui sejumlah kendaraan besar ataupun kendaraan pembawa sembako untuk daerah Kabupaten Kapuas Hulu dan daerah pedalaman ataupun pedesaan lainnya" terang dia.
Dampak dari kerusakan ruas jalan penghubung Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu, lanjut Gusti, sangat mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat setempat khususnya menjual hasil panennya. "Karena itu kita mendesak pemerintah agar segera memperbaiki jalan dengan pengerasan ataupun di aspal." tuntas Gusti.

Sumber : Borneo Tribun, pontianak hari kamis, tanggal 22 maret 2012

Jumat, 02 Maret 2012

Jalan salib di Paroki Santo Fidelis Sejiram


Jalan salib merupakan tradisi gereja katolik dalam masa prapaska untuk mengenang sengsara Tuhan Yesus Kristus. Ada yang menarik ketika mengikuti jalan salib di hari jumat terakhir dalam masa prapaska di paroki sejiram karena jalan salib tidak di dalam gereja tetapi di sebuah bukit kecil di komplek pastoran sejiram., pagi-pagi umat berkumpul di depan gereja kemudian bersama-sama mengikuti prosesi jalan salib yang dimulai di kaki bukit untuk kemudian perlahan-lahan mendaki, seperti jalan salib pada umumnya melewati perhentian demi perhentian yang kemudian diakhiri dengan perhentian terakhir di kuburan katolik. Tradisi ini entah kapan dimulai yang pasti masih berlangsung hingga sekarang. Dulu orang-orang tua di sejiram mengenal perayaan ini dengan istilah ahi haya ngelilin bukit (hari raya berjalan mengelilingi bukit). Terlepas dari tradisi dan perayaan tersebut ada yang selalu menjadi keinginanku, mungkin juga keinginan semua umat katolik di paroki sejiram yaitu adanya patung permanen sebagai penanda setiap perhentian, selama ini perhentian dalam jalan salib tersebut hanya di tandai dengan gambar-gambar peristiwa sengsara Tuhan yang digantung di pohon ala kadarnya. Keinginan itu semakin menjadi ketika melihat  tempat wisata rohani bukit kelam yang memiliki stasi jalan salib yang begitu indah, paroki sejiram sudah memiliki tempat hanya perlu penambahan sarana ibadah yang lebih baik dan permanen. Jika kita berkhayal seperti di bukit kelam mungkin itu terlalu berat..., saya berpikir yang sederhana saja yang mungkin terjangkau biayanya, bukan patung tetapi cukup dalam bentuk relief  yang ukurannya kita sesuaikan. Berkayal mungkin tidak salah....?
tetapi jika kita punya keinginan yang sama mungkin ini bukan lagi berkhayal karena kita bisa berbuat bersama untuk kita semua.