Senin, 20 Februari 2012

stasi Sejiram dibuka kembali pada Tahun 1906 oleh Misionaris Kapusin

Tanggal 11 Pebruari 1905 Kalimantan menjadi daerah Prefektur Apostolik sendiri, yang  meliputi  seluruh  wilayah  Kalimantan  yang dikuasai oleh Belanda  pada  waktu  itu, dengan tempat kedudukan Prefek Apostolik di Pontianak. Daerah Prefektur Apostolik yang baru ini dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Pater Pacificus Bos sebagai Prefek Apostolik yang pertama, diangkat pada tanggal 10 April 1905.
Sejak ditinggalkan pada tahun 1898, baru bulan Mei 1906 bekas Stasi Sejiram dikunjungi lagi. Kunjungan ini dilakukan oleh Prefek sendiri sebagai penjajakan. Stasi dibuka kembali pada tanggal 22 Agustus 1906. Dua orang Pastor dan dua orang Bruder, yakni: Pastor Eugenius, Pastor Camillus dan Bruder Theodorius, pada tanggal tersebut mulai menetap di Sejiram. Tidak lam kemudian karya misi di Sejiram diperkokoh dengan datangnya beberapa Suster Fransiskanes dari Veghel, yaitu: Sr. Didelia, Sr. Casperina dan Sr. Cayetana. Datangnya misionaris Kapusian dan Suster-Suster Fransiskanes tersebut merupakan titik awal baru perkembangan Gereja di wilayah ini. Benih sudah ditanam, kini mulai tumbuh.
Ketika misionaris Kapusin datang ke Sejiram, mereka tidak menemukan apa-apa lagi kecuali rumah Pastor. Gereja, sekolah dan perumahan lainnya yang dulu pernah dibangun oleh Pastor Looymans di situ tidak ada lagi. Tetapi benih yang dulu ditanam, sudah tumbuh dan masih hidup, walaupun ditinggalkan beberapa tahun. Beberapa orang katolik yang dulu dipermandikan sebagai anak kecil oleh Pastor Looymans masih ada. Setiap hari Minggu berkumpul kurang lebih 50 orang untuk sembahyang dan pelajaran agama. Gereja dan Pastoran baru segera mulai dibangun.
Selain karya untuk hal-hal yang rohani, juga karya di bidang sosial dimulai. Misionaris-misonaris ini mulai membuka sekolah dan perkebunan. Walaupun saat ini perkebunan di Sejiram tidak lagi berkembang dan sekolah di Sejiram tidak ada lagi, juga tidak lagi sebagai pusat, tetapi dampaknya masih nyata dan dapat dilihat sampai saat ini. Perkembangan orang Dayak dalam bidang perkebunan, khususnya perkebunan karet, dan pendidikan lainnya, yang kemudian membawa mereka keluar dari lingkungannya yang amat tertutup pada waktu itu, dimulai dari karya misi di Sejiram ini. Para misionaris dari poermulaan sudah melihat bahwa usaha misi di antara orang  Dayak harus disertai dengan usaha meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Untuk itu perlu ada sekolah dan usaha perkebunan.
Memulai sebuah sekolah di kalangan orang Dayak pada waktu itu cukup sulit. Pastor terpaksa harus pergi ke kampung-kampung mencari murid. Anak-anak dan orang tua diberi pengertian tentang pentingnya sekolah dan dibujuk dengan kata-kata serta hadiah-hadiah. Setiap tahun Pastor tetap terpaksa memburu murid ke kampung-kampung, karena setelah beberapa tahun orang tua masih tidak berani melepaskan anak-anak pergi ke sekolah. Ketakutan itu masih ditambah oleh adanya isu yang mengatakan bahwa anak-anak akan dibawa pergi dan tidak akan dibawa kembali kepada orang tuanya. Anak-anak disembunyikan oleh orang tuanya di ladang atau di loteng rumah begitu mendengar Pastor datang ke kampung mereka. Ini hanya salah satu contoh kesulitan pada waktu itu.
Sekarang keadaannya berlainan sekali. Boleh dikatakan terbalik. Pastor tidak perlu mencari murid, tetapi mereka sendiri yang datang. Namun kesulitan biaya,  yang  dari  dulu dialami, sekarang masih tetap dialami  sebagai  salah  satu  hambatan  yang  terbesar  untuk kemajuan orang-orang Dayak. Karena itu salah satu penekanan dalam usaha misi di bidang pendidikan di masa sekarang ini untuk  orang-orang  Dayak,  adalah  beasiswa  bagi  anak / remaja / pemuda yang memiliki kemampuan belajar dan ingin  maju,  tetapi  kurang  biaya. Asrama bagi para pelajar Dayak masih tetap dibutuhkan, mengingat sebagian besar mereka tinggal di pedalaman. Perkembangan Gereja sebagian ditentukan oleh usaha pendidikan. Bahwa ada orang Dayak yang tertarik kepada Gereja karena usaha pendidikan yang dapat meningkatkan hidup mereka, itu kiranya bukan hanya terjadi di kalangan orang Dayak, tetapi bisa terjadi di seluruh dunia. Pendidikan itu membuka pikiran dan dunia seseorang, membantu kesadaran dan penghayatan iman yang lebih mendalam. Hal ini sudah disadari sejak misionaris-misionaris pertama menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan ini.
( Sumber : http://1001sintang.com/index.php/katholik/122-sejarah-gereja-keuskupan-sintang )

 misionaris yang pernah berkarya di sejiram

Sejiram adalah Permulaan dari Keuskupan Sintang

Gereja di Keuskupan Sintang dimulai dari sebuah “biji” yang betul-betul kecil dan hampir tidak kelihatan, yakni wilayah Sejiram. Ketika seluruh Nusantara masih di bawah satu Vikariat Apostolik Jakarta, sudah ada maksud mendirikan karya misi di antara orang-orang Dayak. Dalam surat Vikaris Apostolik dari Batavia tertanggal 25 Pebruari 1884, dengan nomor 178, Mgr. Claessens memberitahu tentang pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (bogor), yang menyatakan kemungkinan pemerintah Belanda memberi daerah Borneo bagi Misi Katolik. Dalam surat itu juga dinyatakan bahwa dalam penjajakannya yang terakhir di Borneo ada kesan cukup baik akan kemungkinan penerimaan orang Dayak terhadap Misi Katolik. Ijin untuk memulai bekerja di antara orang Dayak diberikan pada tanggal 7 Agustus 1884, mula-mula di daerah-daerahang langsung di bawah pemerintah Belanda, yakni di Sambas, Mempawah dan Sintang. Pater Staal beberapa  kali mengadakan perjalanan untuk meninjau situasi. Beliau menganjurkan supaya misi  dimulai  di  antara  orang-orang  Dayak  yang  diam  di  sekitar Bengkayang, khususnya di kampung Sebalau. Darah itu tidak terlalu jauh dari Singkawang, sehingga Pastor Singkawang dan Pastor Sebalau dapat mudah berhubungan. Residen Gijbers dari Pontianak menganjurkan supaya Pater Staal mengunjungi juga daerah-daerah lain: lima hari mudfik dengan motor-boat dari Pontianak. Daerah itu adalah Semitau, pusat orang-orang Dayak dari Suku Rambai, Seberuang dan Kantuk. Pater Staal punya kesan baik terhadap orang-orang Dayak di sekitar Semitau. Namun mengingat jumlah mereka yang hanya sekitar 1500 orang, dan perjalanan yang sulit sekali, sehingga Pater Staal tetap pada nasehatnya: pilihlah Sebalau.
Dalam pertimbangan selanjutnya ternyata Sebalau tidak dipilih, karena terletak dalam daerah kekuasaan Sultan Sambas dan tidak ada jaminan bahwa pejabat-pejabatnya yang semuanya Islam tidak akan menghalangi karya misi di antara orang-orang Dayak yang masih animis. Dengan demikian, pilihan jatuh pada Semitau, tempat kedudukan seorang Kontrolir yang membawahi daerah Kapuas Hulu. Residen Sintang menyetujui rencana itu dan menyatakan bahwa Suku Seberuang, Rambai dan Kantuk cukup taat pada Pemnerintah Belanda dan mereka bersedia menerima Misi Katolik.
Demikianlah dengan Surat Dinas tanggal 14 Juni 1890, nomor 252, yang dikeluarkan berdasarkan Surat Dinas Kabinet tanggal 29 Juli 1889, nomor 7, yang menyetujui Misi Katolik berkarya di antara orang-orang Dayak dengan tempat kedudukan Semitau, Pastor Looymans diutus menjadi misionaris pertama bagi orang Dayak. Tanggal 29 Juli 1890 Pastor H. Looymans tiba di Semitau.Kemudian ternyata Semitau bukan tempat yang strategis bagi karya misi. Karena orang Dayak tidak tinggal di Semitau, tetapi di daerah sekitarnya. Hanya sesekali mereka datang ke Semitau Desa yang merupakan pusat perdagangan bagi daerah sekitarnya. Penduduknya sendiri hanya terdiri dari orang-orang Cina dan Melayu. Dengan demikian, kontak yang mendalam dengan orang Dayak hampir tidak mungkin. Maka pada tahun 1892 Pastor Looymans dijemput dan dibawa ke Sejiram oleh Babar, Bantan dan Unang, tiga bersaudara dari Sejiram. Di atas tanah kosong yang agak berbukit di pinggir Sungai Seberuang, tidak jauh dari Nanga Sejiram, Pastor Looymans membangun rumah. Tempat itu terletak di antara 4 kampung orang Dayak. Jarak setiap kampung sekitar lima menit berjalan kaki. Di tempat itu kemudian dibangun gereja, sekolah dan pondok untuk anak-anak sekolah. Dalam waktu tujuh bulan Pastor Looymans sudah mempermandikan 58 orang anak. Di sini pun, seperti di tempat lain, harapan terutama terletak pada anak-anak muda. Pada tahun 1893 Pastor Looymans yang sendirian dan kurang terpelihara hidupnya dibantu oleh Pastor Mulder. Sayang karya mereka tidak dapat beretahan lama.Daerah yang baru dirintis itu hanya dapat dilayani beberapa tahun saja. Pada tahun 1898 Sejiram terpaksa harus ditinggalkan, karena tenaga mereka diperlukan di tempat lain yang lebih mendesak. Di tahun 1900 Pastor Schrader pernah sekali mengunjungi Sejiram. Sesudah itu Sejiram tidak pernah dikunjungi lagi sampai tahun 1906.
(Sumber : http://1001sintang.com/index.php/katholik/122-sejarah-gereja-keuskupan-sintang)

 komplek pastoran sejiram pada masa itu

Paroki St. Fidelis Sejiram

Sejiram adalah cikal bakal dari perkembangan gereja di Kalimantan Barat. Misi Katolik berawal dari pertemuan Mgr.Claessens dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (Bogor) yang tertulis dalam surat Vikaris Apostolik dari Batavia tanggal 25 Februari 1884, yang menyatakan kemungkinan pemerintah Belanda memberikan daerah Borneo bagi Misi Katolik dan ijin untuk memulai Misi di Borneo di berikan pada tanggal 7 agustus 1884.
Setelah melakukan perjalanan untuk meninjau situasi, Pater Staal memilih Semitau sebagai tempat kedudukan seorang Kontrolir yang membawahi Kapuas Hulu. Dengan Surat Dinas tanggal 14 Juni 1890 No.252 yang menyetujui Misi Katolik di antara orang-orang Dayak dengan tempat kedudukan Semitau. Pastor H. Looymans diutus menjadi misionaris pertama bagi orang Dayak, tanggal 29 Juli 1890 Pastor H. Looymans tiba di Semitau. Namun ternyata Semitau bukan tempat yang strategis bagi karya misi. Tahun 1892 Pastor H. Looymans di jemput dan di bawa ke Sejiram oleh Babar,Bantan dan Unang, tiga bersaudara dari Sejiram dan membangun rumah di atas tanah kosong yang agak berbukit di pinggir Sungai Seberuang. Di tempat itu juga dibangun gereja, sekolah dan pondok untuk anak sekolah dan dalam kurun waktu 7 bulan Pastor H. Looymans sudah mempermandikan 58 orang anak. Tahun 1893 Pastor H. Looymans di bantu oleh Pastor Mulder tapi pada tahun 1898 Sejiram terpaksa di tinggalkan karena tenaga mereka lebih diperlukan di tempat lain yang lebih mendesak. Tahun 1900 Pastor Schrader pernah sekali mengunjungi Sejiram, sejak itu Sejiram tidak pernah dikunjungi lagi sampai tahun 1906.
Tahun 1905 didirikan Prefektur Apostolik di Pontianak yang diserahkan kepada Ordo Kapusin dan pada bulan Mei 1906 bekas stasi Sejiram dikunjungi Prefek Apostolik, Pater Pacificus Bos. Tanggal 22 Agustus 1906 Stasi Sejiram kembali dibuka dan Pastor Eugenius, Pastor Camillus dan Bruder Theodorius menetap di Stasi Sejiram ini. Tak lama kemudian karya misi di Sejiram diperkokoh dengan datangnya Sr. Fidelia, Sr. Casperina dan Sr. Cayetana yang merupakan Suster Fransiskanes dari Veghel. Perjuangan Misionaris Kapusin dan Suster Fransiskanes dimulai dari usaha meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat dengan mendirikan sekolah sebab masyarakat Dayak pada waktu itu tertarik kepada Gereja karena usaha pendidkan yang dapat meningkatkan kehidupan mereka.

(sumber : http://parokisejiram.wordpress.com/2012/01/25/)

 Gereja tua itu

pemandangan yang hampir tak berubah hingga kini

Sabtu, 18 Februari 2012

Geredja Toea


TAHUKAH ANDA....? tahun berapakah pembangunan gedung gereja Santo Fidelis Sejiram yang hingga sekarang masih kita gunakan sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan agama katolik di sejiram?. Atau berapa tahun usia bangunan tersebut?
Pasti banyak yang mengatakan tidak tahu persis tahun berapa, tapi yang jelas usia gereja tersebut sudah lebih dari satu abad. Mungkin itu jawabannya. Menurut beberapa catatan yang kebetulan pernah saya baca gereja ini dibangun pada tahun 1921 dan selesai pada tahun 1924, itu artinya gereja tersebut belum genap Seratus tahun, tetapi para misionaris yesuit sudah berkarya di sejiram pada tahun 1890 hingga tahun 1897. yang dimaksud dengan gereja seratus tahun itu bukanlah gedung gerejanya tetapi gereja ( yang merupakan kumpulan orang-orang yang percaya pada Yesus Kristus) telah ada semenjak pertama kali para misionaris datang dan berkarya di sejiram pada tahun 1890 . setelah itu ditinggalkan para misionaris Yesuit untuk beberapa tahun, lalu kemudian dibuka kembali oleh misionaris kapusin pada tahun 1906 yang kemudian mendirikan gereja pertama di sejiram pada tahun 1907 namun gereja kecil itu terbakar pada tahun 1914. setelah tujuh tahun kemudian yaitu pada tahun 1921 gereja baru dibangun lagi oleh para misionaris kapusin, pembangunan dipimpin oleh Bruder Alexius dengan dana pembangunan adalah sumbangan dari nyonya SCHOFFERS dari Tilburg (Belanda).
Begitulah kira-kira sekilas tentang gereja tua sejiram..., mohon tambahan kisah lengkapnya jika ada yang mengetahui dengan persis dan punya catatan sejarahnya yang lengkap. 

 proses pembangunan gereja sejiram pada tahun 1921

 interior gereja St. Fidelis doeloe

Senin, 13 Februari 2012

sejiram doeloe dan kini....

susteran masih seperti doeloe

Gereja mengalami sedikit perubahan pada bagian depan



Gedung ini masih seperti ini sampai sekarang

gaya anak sekolahan di sejiham tahun 30an..., gimana sekarang....?

asrama suster tampak belakang

Hampir tak ada perubahan berarti, hanya jalan dan listrik serta  sedikit pembangunan dari pemerintah daerah saat ini selebihnya milik para wiraswastawan yang ingin mengais rejeki di daerah ini. Ada rasa kagum karena masih ada bangunan tua yang masih terjaga tapi ada juga rasa kecewa karena sepertinya  perhatian pemerintah kita saat ini setengah hati  untuk tempat ini, jika kita mendengar cerita tentang sejiram dahulu aku lebih ingin hidup di tahun-tahun itu, seandainya ada yang pernah tahu tentang sejarah pendidikan di kalimantan barat atau lebih tepatnya di kabupaten kapuas hulu mereka pasti tak asing mendengar nama sejiram sebab disinilah banyak orang mulai mengenal pendidikan, banyak orang berdatangan ke tempat ini untuk belajar dan bersekolah. Kini setelah hampir atau lebih dari satu abad sejiram seperti terlupakan dari sejarah, kini orang lebih mengenal tempat ini seperti sesuatu yang berbanding terbalik dari masyarakatnya yang dikenal religius dan terdidik, entah salah siapa....?
Walaupun demikian kita tak perlu berkecil hati karena kita generasi baru dari sejarah ini, kita kan menciptakan sejarah untuk tanah kita tercinta berbekal sejarah yang tak terbantahkan kita akan mengembalikan keagungan bangunan-bangunan megah dan tanah peninggalan generasi terdahulu, kita akan harumkan kembali  nama para pendahulu kita yang dikenal sebagai pribadi yang religius dan terdidik, percayalah sejiram tidak ditakdirkan untuk mati, sejiram dilahirkan dan akan melahirkan untuk memberi kehidupan dan akan terus hidup.

apai heti "LANDSCHAPS ZIEKENHUIS" ?

para suster yang pernah berkarya di sejiram

embrio rumah sakit (di lokasi tugu tritapang sekarang) kemudian pindah di komplek pastoran sekarang yang difungsikan sebagai tempat tinggal.

rumah suster dan asrama hampir tak ada perubahan sampai sekarang

masih utuh hingga kini

Masih menyambung tulisan saya di entri tanah misi yang hampir terlupakan. Selain pendidikan dan perkebunan karet saat itu sejiram juga mulai mendapatkan pemahaman tentang kesehatan dari para suster dan para misionaris, seiring dengan itu secara perlahan pengobatan cara tradisional mulai jarang dilakukan karena telah ada pelayanan medis dari para misionaris. Beberapa tahun kemudian dengan bertambahnya penduduk pemerintah hindia belanda lewat para misionaris juga mendirikan pusat pelayanan kesehatan bagi masyarakat sejiram dan sekitarnya yang dilayani oleh suster-suster belanda yang juga berkarya di sejiram. tempat itu lebih dikenal masyarakat setempat sebagai rumah sakit sebab pada tahun-tahun tersebut pusat pelayanan kesehatan ini sudah cukup memadai untuk ukuran kampung kecil ini.



Kamis, 09 Februari 2012

"Sabung Ayam"

tradisi atau ambisi


kalimat “SABUNG AYAM” pasti akan merujuk pada sebuah perbuatan melawan hukum yaitu perjudian. Tapi pernahkah kita tahu jika sabung ayam justru sebagai tindakan penyelesaian sebuah perkara yang jelas-jelas untuk menegakan hukum. Di daerah sejiram pada masa lalu khususnya sub suku dayak suaid salah satu penyelesaian perkara adalah dengan sabung ayam, lalu bagaimana si ayam menjadi penegak hukum? Menurut cerita para tetua dan pemangku adat sub suku suaid, jika ada pelanggaran hukum adat dalam hal ini ada korban dan tersangka, pertama-tama melalui prosedur pnyelesaian hukum adat yang biasa sampai pada putusan namun tak terselesaikan, dan banding (beberapa tahap) hingga tingkat tertinggi pada temenggung (juga tak terselesaikan) maka temenggung  membuat aturan “nyabung” (adu ayam) ,  ayam adalah perwujudan dari yang berperkara masing-masing pihak akan diwakilkan dengan seekor ayam, pihak-pihak yang berperkara (korban dan tersangka) memilih salah satu ayam jantan terbaiknya lalu kemudian ayam-ayamnya dipasang taji (sejenis pisau kecil tajam) pada kaki ayam tersebut kemudian dibawa ke tempat yang ditentukan pemangku adat setempat untuk kemudian di adu dengan telah melakukan ritual adat tertentu. Masing-masing pihak harus menerima keputusan dengan lapang dada. Apabila salah satu ayam yang di adu mati atau lari maka si empunya ayam di nyatakan bersalah dan harus menerima hukuman sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Sabung ayam ini dimaksudkan untuk mengganti ketentuan menyelesaikan perkara dengan SUMPAH. Sumpah dinilai terlalu keji dan mengakibatkan kejadian yang sangat tidak manusiawi karena berhubungan dengan makhluk halus yang bisa membunuh dan membuat celaka yang bersalah. Begitulah si ayam menjadi penegak hukum di komunitas sub suku dayak suaid.

sunset and sunrise

tepi sungai kapuas dekat semuntai

jalan sutoyo pontianak kalimantan barat
penyapu jalan

sunrise sungai kapuas

sunset di jongkat beach

sunset

sunsetku

menikmati pagi buta dan sore menjelang malam..., tempat dan moment  terekam di kamera, inilah beberapa diantaranya.

Rabu, 08 Februari 2012

Sejiram tempo doeloe

cikal bakal gereja sekarang terbakar pada tahun 1914 dibangun kembali tahun 1921

sejiram tujuan orang-orang bersekolah

tahun 1925 sejiram sudah cukup ramai

Selasa, 07 Februari 2012

tanah misi yang hampir terlupakan

pemandangan yang hampir sama setelah satu abad

sebuah tempat yang menjadi pilihan para misionaris  kurang lebih seratus tahun yang lalu untuk pewartaan injil,  disinilah iman katolik tumbuh dan menjadi cikal bakal keuskupan sintang, masyarakat dayak perlahan-lahan mulai memeluk agama katolik dan mendapatkan pendidikan. Sejiram begitulah nama kampung kecil ini, lalu kemudian tempat ini menjadi pusat pendidikan karena para misionaris mendirikan sekolah disini, lebih lanjut para misionaris memperkenalkan budidaya  perkebunan karet, pada awalnya perkebunan ini diperuntukan hanya untuk sumber ekonomi para misionaris namun lambat laun penduduk setempat pun bisa menikmatinya, sejak itu pertanian ladang berpindah penduduk setempat menjadi menarik, ini dikarenakan hampir setiap ladang yang ditanami padi juga ditanami karet, bekas ladang tidak lagi ditinggalkan begitu saja melainkan menjadi kebun karet yang hingga kini menjadi sumber penghasilan sebagian besar masyarakat sejiram. dulu bibit-bibit karet dibawa langsung oleh para misionaris dari eropa, menurut beberapa penggiat tanamam pertanian karet disini merupakan jenis karet yang berkualitas bagus. Landbow begitulah orang menyebut karet disini
gudang karet kini tinggal puing

ketika itu...