tradisi atau ambisi
kalimat
“SABUNG AYAM” pasti akan merujuk pada sebuah perbuatan melawan hukum yaitu
perjudian. Tapi pernahkah kita tahu jika sabung ayam justru sebagai tindakan
penyelesaian sebuah perkara yang jelas-jelas untuk menegakan hukum. Di daerah
sejiram pada masa lalu khususnya sub suku dayak suaid salah satu penyelesaian
perkara adalah dengan sabung ayam, lalu bagaimana si ayam menjadi penegak hukum?
Menurut cerita para tetua dan pemangku adat sub suku suaid, jika ada
pelanggaran hukum adat dalam hal ini ada korban dan tersangka, pertama-tama
melalui prosedur pnyelesaian hukum adat yang biasa sampai pada putusan namun
tak terselesaikan, dan banding (beberapa tahap) hingga tingkat tertinggi pada
temenggung (juga tak terselesaikan) maka temenggung membuat aturan “nyabung” (adu ayam) , ayam adalah perwujudan dari yang berperkara
masing-masing pihak akan diwakilkan dengan seekor ayam, pihak-pihak yang berperkara
(korban dan tersangka) memilih salah satu ayam jantan terbaiknya lalu kemudian
ayam-ayamnya dipasang taji (sejenis pisau kecil tajam) pada kaki ayam tersebut
kemudian dibawa ke tempat yang ditentukan pemangku adat setempat untuk kemudian
di adu dengan telah melakukan ritual adat tertentu. Masing-masing pihak harus
menerima keputusan dengan lapang dada. Apabila salah satu ayam yang di adu mati
atau lari maka si empunya ayam di nyatakan bersalah dan harus menerima hukuman
sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Sabung ayam ini dimaksudkan untuk
mengganti ketentuan menyelesaikan perkara dengan SUMPAH. Sumpah dinilai terlalu
keji dan mengakibatkan kejadian yang sangat tidak manusiawi karena berhubungan
dengan makhluk halus yang bisa membunuh dan membuat celaka yang bersalah. Begitulah
si ayam menjadi penegak hukum di komunitas sub suku dayak suaid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar