Minggu, 01 April 2012

Jangan Paksakan Masyarakat Dukung Sawit


Anggota DPRD Kapuas Hulu, Gupung meminta pihak perusahaan dan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu tidak memaksakan kehendak agar masyarakat menerima pembukaan lahan perkebunan “kita tentu tidak bisa memaksakan buka lahan Sawit kalau masyarakat menolak”, kata Gupung Rabu (28/3) di ruang kerjanya.
Gupung menilai masyarakat tentu memiliki banyak alasan untuk menolak perkebunan sawit di wilayahnya. Masyarakat juga sudah memiliki rasa ketidakpercayaan kepada perusahaan bersangkutan. Berbagai alasan seperti perusahaan tidak memiliki ijin AMDAL. Maka dari itu Gupung katakan agar masyarakat harus percaya, sebelum memberikan ijin kepada perusahaan. Bentuk sosialisasi dari perusahaan sawit harus diberitahukan pada masyarakat.
“Kenyataannya selama ini masyarakat yang menerima perusahaan kebun sawit, justru menderita kerugian. Selain kehilangan lahan juga tidak mendapat uang dan pekerjaan dari hasil menjadi kuli kelapa sawit”. Tuturnya.
Ia pun mengambil contoh, terdapat masyarakat diberikan iming gaji perhari tetapi tidak sesuai dengan kontrak dari perusahaan janjikan kepada masyarakat. Sering kali perusahaan, tidak transparan dengan perjanjian kontrak.
Dia mengingatkan lahan hutan yang dimasukan oleh perkebunan sawit adalah milik masyarakat adat. Penolakan adat lebih memiliki kekuatan besar yang tidak dapat ditolak begitu saja oleh pemerintah.
“saran saya, forum penolakan dari masyarakat harus didengar oleh pejabat tertinggi Pemerintah Kabupaten supaya tidak terjadi konflik antara rakyat dan pemimpinnya”. Tutur Gupung.

Sumber : Borneo Tribune, hari Minggu Tanggal 1 April 2012


Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga kini bahkan semakin menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai maksudnya tadi, pemerintah banyak membuat program ekspnasi wilayah kebun meski harus mengkonversi hutan.
Sebut saja Program sawit di wilayah perbatasan IndonesiaMalaysia di pulau Kalimantan seluas 1,8 jt ha dan Program Biofuel 6 juta ( tribun Kaltim, 6 juta ha untuk kembangkan biofuel) ha. Program pemerintah itu tentu saja sangat diminati investor, karena lahan peruntukan kebun yang ditunjuk pemerintah adalah wilayah hutan. sebelum mulai berinvestasi para investor sudah bisa mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari hutan dengan hanya mengurus surat Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) kepda pihak pemerintah, dalam hal ini departemen kehutanan.  
Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantaranyai:
  1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai  erosi, hama dan penyakit.
  2. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
  3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online).   Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
  4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan  karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
  5. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan  pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama.  Hal ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
  6. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
  7. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor
Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).
Masihkan kita membutuhkan konversi hutan untuk menjadi kebun sawit mengingat dampak negatif yang munculkannya begitu banyak bahaya dan jelas-jelas mengancam keberlangsungan lingkungan hidup? Sebuah pertanyaan untuk kita permenungkan  demi kelangsungan dan keseimbangan alam serta penghuninya. (cepot)


Selasa, 27 Maret 2012

Migrasi Orang Dayak di Kapuas Hulu



Migrasi kelompok pertama diperkirakan datang dari arah barat (kemungkinan berasal dari hilir sungai kapuas dan anak-anak sungainya seperti sungai sekayam, ketungau, dan sekadau). Sub-subsuku yang dimaksud ialah subsuku Seberuang, Ensilat, Iban, Kantu’, Tamanik, Desa, Sekapat, Suaid, Mayan, Sebaru’, Rembay, dan Ulu ai’.
Sedangkan migrasi kelompok kedua diperkirakan berasal dari arah timur daerah Data Purah, Apo Kayaan yang menurunkan tiga subsuku Dayak yaitu Dayak Punan, Buket dan juga suku Kayaan Mendalam.
Migrasi kelompok ketiga hakikatnya juga berasal dari timur, yaitu sungai Kayaan. Kelompok ini tidak langsung ke Kalimantan barat, melainkan menuju sungai Mahakam kemudian menyebar ke hulu sungai Melawi. Dari hulu sungai melawi inilah kemudian menyebar lagi ke hulu Sungai Manday, sungai Suru’, dan sungai Mentebah hingga ke Kapuas. Kelompok subsuku Dayak yang ketiga ini ialah subsuku Dayak Orung Da’an, Suru’ dan Mentebah.
Gambaran migrasi kelompok suku Dayak di Kapuas Hulu pada hakikatnya tidak bersamaan waktu penyebarannya. Misalnya Dayak Iban yang dikelompokkan pada kelompok pertama, tidak langsung ke Kapuas Hulu tetapi kelompok ini memilih Sungai Batang Rejang di Malaysia. Setelah Suku ini ditaklukkan oleh raja “white” Brooke, baru kemudian melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Kapuas Hulu. Sedangkan kelompok Dayak Sekapat, Sebaru’ dan Desa diyakini paling terakhir menyebar di kabupaten ini.
Gambran penyebaran ini hakikatnya masih perlu di uji dan memerlukan kajian lebih lanjut.
Suku Dayak di Kabupaten Kapuas Hulu atau seringkali disebut Dayak Ulu kapuas keberadaanya sama dengan beberapa subsuku Dayak di kabupaten lain di Kalimantan Barat, yaitu sebagai penduduk asli pulau Kalimantan. Sebagai kelompok mayoritas sub-subsuku Dayak di kabupaten ini diperkirakan sudah mendiami wilayah hulu sungai kapuas ini sekitar tahun 300-an yang silam, sebelum peristiwa perang antara manusia dengan roh halus di Tanah Tampun Juah yang menyebabkan “migrasi besar-besaran”
Beberapa subsuku yang mengisahkan tentang asal-usul mereka dari Tampun Juah adalahh dayak Kantu’, Seberuang, dan juga Rembay. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai peristiwa sejarah dan perkembngannya, misalnya perluasan wilayah kerajaan Sintang di Selimbau dan Semitau serta masa penjajahan Belanda.
Kelompok masyarakat dayak sebelum berdirinya panembahan-panembahan Kerajaan Sintang dan datangnya para penjajah, umumnya masih menganut agama leluhur mereka. Namun agama ini acapkali dianggap sebagai animisme, berhala, dan sebagainya. Kerajaan Sintang yang memperluas wilayah kekuasaannya dengan mendirikan panembahan-panembahan di wilayah hulu kapuas juga menyebarkan agama Islam. Hal ini membuat kelompok suku Dayak dihadapkan pada pilihan untuk menganut salah satu agama yang menjanjikan “peradaban baru”
Secara kebetulan agama Islam pada saat itu cukup berpengaruh seiring berdirinya kerajaan-kerajaan kecil yang bernafaskan Islam. Belum lagi kelompok suku ini dihadapkan pada pilihan “jika menganut agama Islam", kelompok suku Dayak terbebas dari perbudakan dan kewajiban membayar upeti kepada kerajaan. Namun tanpa disadari menganut agama Islam di Kalimantan Barat selalu diidentikkan dengan Melayu. Oleh karena itu, sadar atau tidak sadar terjadi penolakan jati dirinya. Dilihat dari aspek kultural kelompok Dayak yang muslim ini pun sulit untuk dibedakan dengan kelompok Dayak yang non muslim, lama kelamaan sikap itu mengkristal sehingga melahirkan identitas baru yang disebut Senganan. Sedangkan yang dimaksudkan sebagai Dayak, dimaknai kelompok masyarakat pribumi Kalimantan Barat non Muslim.
Mengenai keragaman subsuku Dayak di Kapuas Hulu dari hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan diseluruh wilayah kabupaten Kapuas Hulu adalah sebagai berikut : Dayak Suaid, Kantu’, Seberuang, Kalis, Lau’, Suru’, Mentebah, Tamambalo, Ensilat, Mayan, Sekapat, Desa, punan, Buket, Taman, Kayaan, Rembay, Sebaru’, Iban, Oruung Da’an.

Sumber : buku Mozaik Dayak “keberagaman subsuku dan bahasa Dayak di Kalimantan barat"

Senin, 26 Maret 2012

subsuku Dayak Suaid

  
 ilustrasi

Subsuku Dayak Suaid adalah kelompok masyarakat dayak yang umumnya bermukim di wilayah Kecamatan Seberuang, Semitau, dan sebagian kecil berada di kecamatan Selimbau Kabupaten Kapuas Hulu.Istilah Suaid hakikatnya di ambil berdasarkan nama sungai yaitu Sungai Suaid yang memanjang dari selatan hingga ke utara dan bermuara di sungai kapuas. Di sepanjang sungai inilah dulunya kelompok masyarakat ini bermukim, beranak pinak dan berdaulat. Mereka hidup berdampingan penuh kerukunan dengan subsuku Dayak Kantu’, Seberuang dan Dayak Mayan (yang hakikatnya anak suku Dayak Suaid). Selain itu kelompok ini juga sudah lama hidup berdampingan dengan orang melayu yang umumnya mereka sebut Senganan.
Jika dilihat dari keadaan Geografis atau luas wilayah Subsuku Dayak Suaid yang hanya bermukim di sungai suaid, maka subsuku ini merupakan subsuku yang kecil. Akan tetapi, berbagai peristiwa yang dialami suku ini mengukir sejarah perkembangannya sehingga menjadikan subsuku ini menjadi subsuku yang besar. Misalnya masuknya tiga per empat wilayah kecamatan seberuang yang hingga saat ini merupakan wilayah penyebaran subsuku suaid.
Gambaran sikap pemberani orang Suaid digambarkan oleh seorang misionaris yang pernah berkarya di hulu sungai kapuas, terutama di Benua Martinus dan Sejiram, yaitu H.J Van Hulten. Rombongan misionaris itu pernah diusir Jepang. Sehingga mereka memutuskan pergi ke Pontianak. Dalam perjalanannya dari Benua Martinus menuju pontianak, mereka akan diserang oleh orang melayu embau. Akan tetapi, orang-orang Dayak dari Sejiram melindungi rombongan misionaris ini dengan perlengkapan senjata mereka selama 14 hari (H.J. Van Hulten, 1992:23).
Dayak Suaid memiliki kepekaan terhadap identitas mereka. Kelompok ini diyakini sebagai Dayak Mardhahika atau Dayak Merdeka, yaitu Dayak yang ingkar menukar identitas mereka dan juga ingkar membayar pajak kepada kerajaan (Yusriadi, 2003:14). Oleh karena itu, para tetua kampung dan tokoh masyarakat ini menolak sistem penulisan kelompoknya dengan menggunakan konsonan [h] antara vokal [u] dan [a] seperti SUHAID sebagaimana yang lazim ditulis dalam administrasi pemerintah yang juga pernah ditulis oleh Hudson (1996) tentang klarifikasi bahasa-bahasa Borneo. Kelompok suku ini menegaskan sistem penulisannya tanpa konsonan [h] yaitu SUAID. Bagi kelompok suku ini, jika ditulis Suhaid tidak merefleksikan identitas mereka melainkan bermakna Senganan. Apalagi dalam bahasa Suku Suaid konsonan [h] sebagai refleksi dari konsonan [r], sebagai contoh kata garam diucapkan Gaham.
Ditinjau dari aspek Linguistik, bahasa Dayak Suaid memiliki ciri fonetis hampir sama dengan subsuku Dayak mayan, Ulu sungai, dan beberapa bahasa di Kabupaten Sanggau, seperti bahasa subsuku Dayak Ribun. Dalam hal ini pada subsuku ini tidak terdapat konsonan [r] baik pada posisi awal, tengah maupun akhir, kecuali kosa kata pinjaman dari bahasa melayu atau penutur bahasa Suaid yang tidak tinggal di dilingkungan subsuku ini (lahir dan dibesarkan di kota). Konsonan ini selalu memiliki persamaan bunyi dengan konsonan [h]. Sedangkan ciri fonetis lainnya ialah konsonan [s] pada suku akhir cenderung berkonotasi dengan nasal [‘n] dan tidak terdapat pranasal pada akhir seperti [‘tn], [‘pm], [‘kng].
Subsuku dayak Suaid tersebar di empat wilayah empat kecamatan, yaitu kecamatan Seberuang, Semitau, Suhaid, dan Selimbau. Adapun wilayah penyebaran subsuku Dayak Suaid meliputi 28 kampung dengan penutur lebih 8.373 jiwa.

sumber: buku Mozaik dayak "Keberagaman subsuku dan bahasa dayak di Kalimantan Barat"

Rabu, 21 Maret 2012

Kondisi jalan Sintang - Sejiram Buruk

Infrastruktur di Provinsi Kalbar masih buruk. Pengawasan yang lemah membuat kondisi jalan kerap rusak. ini semakin di perparah truk-truk sawit yang melebihi tonase yang diperbolehkan.
Anggota komisi C DPRD Kalbar, Gusti Effendi, SE memaparkan hal tersebut. Ia menguraikan, ruas jalan nasional dari kabupaten Sintang sampai Simpang Sejiram (Kabupaten Kapuas Hulu) memerlukan perhatian cukup serius dari pemprov maupun pemerintah pusat. Karena ruas jalan itu mengalami kerusakan.
"Kerusakan jalan itu diperkirakan 130 km" ucap Gusti di Fraksi Partai Golkar DPRD Kalbar, kemarin.
Lebih lanjut, Gusti menjelaskan kerusakan ruas jalan itu disebabkan kerap dilewatinya sejumlah truk bermuatan sawit yang melebihi dari kapasitasnya. Padahal ruas jalan hanya mampu menampung 8 ton saja.
"Ruas jalan itu dipaksa menanggung beban mencapai 15 ton. Jadi wajar saja, jika ruas jalan itu kembali hancur. Ruas jalan itu jarang mendapatkan perbaikan. Jika pun ada hanya tambal sulam saja" urai mantan ketua DPRD Kabupaten Kapuas Hulu ini.
Karena itu Legislator Partai Golkar ini berharap adanya kucuran dana dari APBN pada tahun 2012. Sehingga jalan itu dapat segera diperbaiki. "Apalagi sesuai yang diungkapkan Kadis PU Kalbar di media, Kalbar mendapatkan cukup besar dana untuk perbaikan dan peningkatan jalan nasional" jelas dia.
Untuk itu, sambung dia, masyarakat sangat mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah dalam membantu anggaran itu dapat dilewati. Selain itu masyarakat Kabupaten Sintang, kata Gusti, berharap adanya bantuan dari pemerintah dalam pembangunan jalan yang ada. Seperti adanya pelebaran jalan.
"Sejauh ini, ruas jalan yang ada dirasakan Kabupaten Sintang sangat kecil. Padahal ruas jalan itu kerap dilalui sejumlah kendaraan besar ataupun kendaraan pembawa sembako untuk daerah Kabupaten Kapuas Hulu dan daerah pedalaman ataupun pedesaan lainnya" terang dia.
Dampak dari kerusakan ruas jalan penghubung Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu, lanjut Gusti, sangat mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat setempat khususnya menjual hasil panennya. "Karena itu kita mendesak pemerintah agar segera memperbaiki jalan dengan pengerasan ataupun di aspal." tuntas Gusti.

Sumber : Borneo Tribun, pontianak hari kamis, tanggal 22 maret 2012

Jumat, 02 Maret 2012

Jalan salib di Paroki Santo Fidelis Sejiram


Jalan salib merupakan tradisi gereja katolik dalam masa prapaska untuk mengenang sengsara Tuhan Yesus Kristus. Ada yang menarik ketika mengikuti jalan salib di hari jumat terakhir dalam masa prapaska di paroki sejiram karena jalan salib tidak di dalam gereja tetapi di sebuah bukit kecil di komplek pastoran sejiram., pagi-pagi umat berkumpul di depan gereja kemudian bersama-sama mengikuti prosesi jalan salib yang dimulai di kaki bukit untuk kemudian perlahan-lahan mendaki, seperti jalan salib pada umumnya melewati perhentian demi perhentian yang kemudian diakhiri dengan perhentian terakhir di kuburan katolik. Tradisi ini entah kapan dimulai yang pasti masih berlangsung hingga sekarang. Dulu orang-orang tua di sejiram mengenal perayaan ini dengan istilah ahi haya ngelilin bukit (hari raya berjalan mengelilingi bukit). Terlepas dari tradisi dan perayaan tersebut ada yang selalu menjadi keinginanku, mungkin juga keinginan semua umat katolik di paroki sejiram yaitu adanya patung permanen sebagai penanda setiap perhentian, selama ini perhentian dalam jalan salib tersebut hanya di tandai dengan gambar-gambar peristiwa sengsara Tuhan yang digantung di pohon ala kadarnya. Keinginan itu semakin menjadi ketika melihat  tempat wisata rohani bukit kelam yang memiliki stasi jalan salib yang begitu indah, paroki sejiram sudah memiliki tempat hanya perlu penambahan sarana ibadah yang lebih baik dan permanen. Jika kita berkhayal seperti di bukit kelam mungkin itu terlalu berat..., saya berpikir yang sederhana saja yang mungkin terjangkau biayanya, bukan patung tetapi cukup dalam bentuk relief  yang ukurannya kita sesuaikan. Berkayal mungkin tidak salah....?
tetapi jika kita punya keinginan yang sama mungkin ini bukan lagi berkhayal karena kita bisa berbuat bersama untuk kita semua.


Senin, 20 Februari 2012

stasi Sejiram dibuka kembali pada Tahun 1906 oleh Misionaris Kapusin

Tanggal 11 Pebruari 1905 Kalimantan menjadi daerah Prefektur Apostolik sendiri, yang  meliputi  seluruh  wilayah  Kalimantan  yang dikuasai oleh Belanda  pada  waktu  itu, dengan tempat kedudukan Prefek Apostolik di Pontianak. Daerah Prefektur Apostolik yang baru ini dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Pater Pacificus Bos sebagai Prefek Apostolik yang pertama, diangkat pada tanggal 10 April 1905.
Sejak ditinggalkan pada tahun 1898, baru bulan Mei 1906 bekas Stasi Sejiram dikunjungi lagi. Kunjungan ini dilakukan oleh Prefek sendiri sebagai penjajakan. Stasi dibuka kembali pada tanggal 22 Agustus 1906. Dua orang Pastor dan dua orang Bruder, yakni: Pastor Eugenius, Pastor Camillus dan Bruder Theodorius, pada tanggal tersebut mulai menetap di Sejiram. Tidak lam kemudian karya misi di Sejiram diperkokoh dengan datangnya beberapa Suster Fransiskanes dari Veghel, yaitu: Sr. Didelia, Sr. Casperina dan Sr. Cayetana. Datangnya misionaris Kapusian dan Suster-Suster Fransiskanes tersebut merupakan titik awal baru perkembangan Gereja di wilayah ini. Benih sudah ditanam, kini mulai tumbuh.
Ketika misionaris Kapusin datang ke Sejiram, mereka tidak menemukan apa-apa lagi kecuali rumah Pastor. Gereja, sekolah dan perumahan lainnya yang dulu pernah dibangun oleh Pastor Looymans di situ tidak ada lagi. Tetapi benih yang dulu ditanam, sudah tumbuh dan masih hidup, walaupun ditinggalkan beberapa tahun. Beberapa orang katolik yang dulu dipermandikan sebagai anak kecil oleh Pastor Looymans masih ada. Setiap hari Minggu berkumpul kurang lebih 50 orang untuk sembahyang dan pelajaran agama. Gereja dan Pastoran baru segera mulai dibangun.
Selain karya untuk hal-hal yang rohani, juga karya di bidang sosial dimulai. Misionaris-misonaris ini mulai membuka sekolah dan perkebunan. Walaupun saat ini perkebunan di Sejiram tidak lagi berkembang dan sekolah di Sejiram tidak ada lagi, juga tidak lagi sebagai pusat, tetapi dampaknya masih nyata dan dapat dilihat sampai saat ini. Perkembangan orang Dayak dalam bidang perkebunan, khususnya perkebunan karet, dan pendidikan lainnya, yang kemudian membawa mereka keluar dari lingkungannya yang amat tertutup pada waktu itu, dimulai dari karya misi di Sejiram ini. Para misionaris dari poermulaan sudah melihat bahwa usaha misi di antara orang  Dayak harus disertai dengan usaha meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Untuk itu perlu ada sekolah dan usaha perkebunan.
Memulai sebuah sekolah di kalangan orang Dayak pada waktu itu cukup sulit. Pastor terpaksa harus pergi ke kampung-kampung mencari murid. Anak-anak dan orang tua diberi pengertian tentang pentingnya sekolah dan dibujuk dengan kata-kata serta hadiah-hadiah. Setiap tahun Pastor tetap terpaksa memburu murid ke kampung-kampung, karena setelah beberapa tahun orang tua masih tidak berani melepaskan anak-anak pergi ke sekolah. Ketakutan itu masih ditambah oleh adanya isu yang mengatakan bahwa anak-anak akan dibawa pergi dan tidak akan dibawa kembali kepada orang tuanya. Anak-anak disembunyikan oleh orang tuanya di ladang atau di loteng rumah begitu mendengar Pastor datang ke kampung mereka. Ini hanya salah satu contoh kesulitan pada waktu itu.
Sekarang keadaannya berlainan sekali. Boleh dikatakan terbalik. Pastor tidak perlu mencari murid, tetapi mereka sendiri yang datang. Namun kesulitan biaya,  yang  dari  dulu dialami, sekarang masih tetap dialami  sebagai  salah  satu  hambatan  yang  terbesar  untuk kemajuan orang-orang Dayak. Karena itu salah satu penekanan dalam usaha misi di bidang pendidikan di masa sekarang ini untuk  orang-orang  Dayak,  adalah  beasiswa  bagi  anak / remaja / pemuda yang memiliki kemampuan belajar dan ingin  maju,  tetapi  kurang  biaya. Asrama bagi para pelajar Dayak masih tetap dibutuhkan, mengingat sebagian besar mereka tinggal di pedalaman. Perkembangan Gereja sebagian ditentukan oleh usaha pendidikan. Bahwa ada orang Dayak yang tertarik kepada Gereja karena usaha pendidikan yang dapat meningkatkan hidup mereka, itu kiranya bukan hanya terjadi di kalangan orang Dayak, tetapi bisa terjadi di seluruh dunia. Pendidikan itu membuka pikiran dan dunia seseorang, membantu kesadaran dan penghayatan iman yang lebih mendalam. Hal ini sudah disadari sejak misionaris-misionaris pertama menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan ini.
( Sumber : http://1001sintang.com/index.php/katholik/122-sejarah-gereja-keuskupan-sintang )

 misionaris yang pernah berkarya di sejiram

Sejiram adalah Permulaan dari Keuskupan Sintang

Gereja di Keuskupan Sintang dimulai dari sebuah “biji” yang betul-betul kecil dan hampir tidak kelihatan, yakni wilayah Sejiram. Ketika seluruh Nusantara masih di bawah satu Vikariat Apostolik Jakarta, sudah ada maksud mendirikan karya misi di antara orang-orang Dayak. Dalam surat Vikaris Apostolik dari Batavia tertanggal 25 Pebruari 1884, dengan nomor 178, Mgr. Claessens memberitahu tentang pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (bogor), yang menyatakan kemungkinan pemerintah Belanda memberi daerah Borneo bagi Misi Katolik. Dalam surat itu juga dinyatakan bahwa dalam penjajakannya yang terakhir di Borneo ada kesan cukup baik akan kemungkinan penerimaan orang Dayak terhadap Misi Katolik. Ijin untuk memulai bekerja di antara orang Dayak diberikan pada tanggal 7 Agustus 1884, mula-mula di daerah-daerahang langsung di bawah pemerintah Belanda, yakni di Sambas, Mempawah dan Sintang. Pater Staal beberapa  kali mengadakan perjalanan untuk meninjau situasi. Beliau menganjurkan supaya misi  dimulai  di  antara  orang-orang  Dayak  yang  diam  di  sekitar Bengkayang, khususnya di kampung Sebalau. Darah itu tidak terlalu jauh dari Singkawang, sehingga Pastor Singkawang dan Pastor Sebalau dapat mudah berhubungan. Residen Gijbers dari Pontianak menganjurkan supaya Pater Staal mengunjungi juga daerah-daerah lain: lima hari mudfik dengan motor-boat dari Pontianak. Daerah itu adalah Semitau, pusat orang-orang Dayak dari Suku Rambai, Seberuang dan Kantuk. Pater Staal punya kesan baik terhadap orang-orang Dayak di sekitar Semitau. Namun mengingat jumlah mereka yang hanya sekitar 1500 orang, dan perjalanan yang sulit sekali, sehingga Pater Staal tetap pada nasehatnya: pilihlah Sebalau.
Dalam pertimbangan selanjutnya ternyata Sebalau tidak dipilih, karena terletak dalam daerah kekuasaan Sultan Sambas dan tidak ada jaminan bahwa pejabat-pejabatnya yang semuanya Islam tidak akan menghalangi karya misi di antara orang-orang Dayak yang masih animis. Dengan demikian, pilihan jatuh pada Semitau, tempat kedudukan seorang Kontrolir yang membawahi daerah Kapuas Hulu. Residen Sintang menyetujui rencana itu dan menyatakan bahwa Suku Seberuang, Rambai dan Kantuk cukup taat pada Pemnerintah Belanda dan mereka bersedia menerima Misi Katolik.
Demikianlah dengan Surat Dinas tanggal 14 Juni 1890, nomor 252, yang dikeluarkan berdasarkan Surat Dinas Kabinet tanggal 29 Juli 1889, nomor 7, yang menyetujui Misi Katolik berkarya di antara orang-orang Dayak dengan tempat kedudukan Semitau, Pastor Looymans diutus menjadi misionaris pertama bagi orang Dayak. Tanggal 29 Juli 1890 Pastor H. Looymans tiba di Semitau.Kemudian ternyata Semitau bukan tempat yang strategis bagi karya misi. Karena orang Dayak tidak tinggal di Semitau, tetapi di daerah sekitarnya. Hanya sesekali mereka datang ke Semitau Desa yang merupakan pusat perdagangan bagi daerah sekitarnya. Penduduknya sendiri hanya terdiri dari orang-orang Cina dan Melayu. Dengan demikian, kontak yang mendalam dengan orang Dayak hampir tidak mungkin. Maka pada tahun 1892 Pastor Looymans dijemput dan dibawa ke Sejiram oleh Babar, Bantan dan Unang, tiga bersaudara dari Sejiram. Di atas tanah kosong yang agak berbukit di pinggir Sungai Seberuang, tidak jauh dari Nanga Sejiram, Pastor Looymans membangun rumah. Tempat itu terletak di antara 4 kampung orang Dayak. Jarak setiap kampung sekitar lima menit berjalan kaki. Di tempat itu kemudian dibangun gereja, sekolah dan pondok untuk anak-anak sekolah. Dalam waktu tujuh bulan Pastor Looymans sudah mempermandikan 58 orang anak. Di sini pun, seperti di tempat lain, harapan terutama terletak pada anak-anak muda. Pada tahun 1893 Pastor Looymans yang sendirian dan kurang terpelihara hidupnya dibantu oleh Pastor Mulder. Sayang karya mereka tidak dapat beretahan lama.Daerah yang baru dirintis itu hanya dapat dilayani beberapa tahun saja. Pada tahun 1898 Sejiram terpaksa harus ditinggalkan, karena tenaga mereka diperlukan di tempat lain yang lebih mendesak. Di tahun 1900 Pastor Schrader pernah sekali mengunjungi Sejiram. Sesudah itu Sejiram tidak pernah dikunjungi lagi sampai tahun 1906.
(Sumber : http://1001sintang.com/index.php/katholik/122-sejarah-gereja-keuskupan-sintang)

 komplek pastoran sejiram pada masa itu